Catatan Perjalanan Kemanusiaan Pasca Tsunami Aceh 2004
DISASTERS.ID – Berawal dari rasa gundah gulana yang terus menghantui sepanjang hari bahkan hingga menghalangi setiap langkah gerakan.
Kegundahan itu terus muncul dibenak sanubari setelah sehari tersiarnya kabar terjadinya bencana alam maha dahsyat di wilayah Provinsi Naggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut), Minggu, 26 Desember 2004.
Kabar bencana alam yang tak kan pernah hilang dalam ingatan siapapun itu terjadi pagi sekira pukul 08.30 WIB diawali gempa bumi berkekuatan 8,9 scala richter (SR).
Lalu dalam hitungan menit kemudian disusul dengan gelombang raksasa tsunami dari Samudera Indonesia telah memorakporandakan seluruh daerah di
pesisir pantai bumi rencong itu.
Kegundahan itupun menjadi perbincangan dan pemikiran serius untuk dapat berangkat melakukan tugas kemanusiaan di lokasi bencana.
Berbagai informasi untuk pemberangkatan sukarelawan ke Aceh pun terus dilakukan.
Ternyata tidak mudah (malahan sangat sulit sekali) perlu waktu dan kesabaran.

Hingga akhirnya, setelah empat hari berkutat mencari informasi, akhirnya kepastian keberangkatan menjadi sukarelawan ke Aceh pun berhasil diperoleh.
Tim dari Unit Siaga Search and Rescue (SAR) Sukabumi yang berkolaborasi dengan Klub Olahraga Dirgantara “Papatong” Bogor pun akhirnya sepakat berangkat di bawah koordinasi Indonesian Off-Road Federation (IOF) dengan tajuk “Off-Roader Peduli Aceh”.
Dalam tugas kemanusiaan ini IOF pun telah menjalin kerjasama dengan Satuan Tugas Bencana Alam TNI-AL di bawah komando Pasukan Marinir (Pasmar).
Dengan tujuan Calang Kabupaten Aceh
Jaya yang berada di Pantai Barat NAD.
Kedua lembaga dari Sukabumi dan Bogor pun memberangkatkan 15 anggotanya termasuk satu diantaranya jurnalis dan pewarta foto SK Pakuan.
Tim ini berangkat dengan mengandalkan empat mobil 4 X 4 (Four Wheel Drive/FWD) keluaran Landrover jenis Long Chassis kanvas.
Keempat kendaraan Land Rover tersebut merupakan mobil yang sudah akrab, karena rutin digunakan sebagai kendaraan operasional dalam setiap kegiatan.
Tim Kolaborasi Sukabumi dan Bogor
yang mengandalkan empat Land Rover
Serie III di bawah koordinator artis
kondang Bucek itu pun setelah sebelumnya menggabungkan diri bersama Land Rover Club Indonesia (LRCI).
Tim gabungan Sukabumi dan Bogor itupun berangkat dalam tim IOF gelombang kedua. Sedangkan gelombang pertama diberangkatkan Sabtu, 1 Januari 2005.
Tim berangkat dari Komando Lintas Laut (Kolinlamil) TNI-AL Tanjung Priok, Senin (3/1) sekira pukul 13.00 WIB dengan menumpang Kapal Perang Republik Indonesia (KRI)
Teluk Bayur dengan nomor lambung 602.
Bersama Tim IOF ke-2 itu diberangkatkan sejumlah 42 personil dari berbagai lembaga dengan 14 kendaraan.
Di antaranya dari Unit Siaga SAR
Sukabumi, klub Paralayang “Papatong”,
LRCI, Seni dan Alam (Sendal) Institut
Kesenian Jakarta (IKJ), Manunggal Bhawana-ITI dan Mapena UMJ serta klub-klub para off-roader.
Sedangkan 14 kendaraan itu, antara lain 9 jenis Land Rover, 1 Jeep Mercy, 3 Toyota BJ 40 dan 1 Scout. Di KRI Teluk Bayur, bergabung bersama Pasukan Marinir (Pasmar) dari Surabaya, Jawa Timur yang juga diberangkatkan untuk tugas kemanusiaan.
Calang yang hancur
Setelah melalui perjalanan panjang
melalui jalur Samudera Indonesia
selama lima hari, akhirnya lokasi tujuan
yakni Calang Kabupaten Aceh Jaya itu
mulai dapat dipandang.
Namun, karena di pantai Calang masih terdapat dua KRI yang masih merapat, terpaksa KRI Teluk Bayur yang ditumpangi harus menunggu selama dua hari di tengah laut sekira 2 kilometer dari garis pantai.
Sambil menunggu dua KRI yang tengah bongkar muatan, akhirnya Senin (10/1) sekira pukul 10.00 WIB setelah laut tenang, beberapa sukarelawan diturunkan menggunakan perahu karet ke Pantai Calang.
Dan sekira pukul 13.00 WIB, akhirnya kapal berhasil merapat di pantai Calang, Kabupaten Aceh Jaya.
Di lokasi bencana tersebut rombongan
disambut oleh Tim IOF gelombang pertama dan sejumlah anggota TNI-AL.
Setelah mengeluarkan 14 mobil dari dalam KRI Teluk Bayur, tim langsung bergabung dan berkoordinasi.
Tim para off-roader itu langsung menempati base camp yang telah disediakan bersama di Komplek Satgas Bencana Alam Pasukan Marinir (Pasmar) TNI-AL.
Hari pertama pun tidak dilewati begitu
saja, kendatipun dibatasi waktu yang
singkat menjelang malam, sejumlah
anggota sempat melakukan orientasi di
lokasi bencana alam itu.
Apalagi, sekira 20 sukarelawan sempat diturunkan sebelumnya menggunakan perahu karet.
Saat semua kaki berhasil menginjak di Tanah Rencong itu, pandangan matapun langsung menyeruak ke berbagai sudut.
Sempat tertegun sesaat. Karena lokasi bencana itu sangat berbeda dengan yang dikabarkan dan diinformasikan.
Ternyata, di Calang ini, sejauh mata memandang tidak ada satu bangunan
pun yang utuh.
Semuanya rata dengan tanah.
Hanya ada dua sisa bangunan yang masih berdiri yang bisa dihitung, itupun
dinding-dindingnya hancur dan sekali-
kali bisa saja roboh.
Apalagi, gempa bumi susulan masih sering terjadi.
Satu bangunan yang terletak di tengah-tengah ibu kota Kabupaten Aceh Jaya itu dimanfaatkan sebagai gudang logistik oleh TNI-AL.
Calang yang merupakan ibu kota dari Kabupaten Aceh Jaya yang baru dibentuk sekira dua tahun lalu itu berpenduduk awal 7.300 jiwa.
Namun, akibat bencana tsunami ini sejumlah 6.582 dinyatakan hilang dan meninggal dunia.
Dan baru dikebumikan sesuai data sementara Satkorlak TNI AL, 16 Januari 2005 lalu sebanyak 610 jenazah.
Calang merupakan daerah yang menjorok ke tengah lautan (tanjung), saat terjadi gelombang raksasa tsunami itu diterjang dari tiga sudut.
Hingga lokasi yang sebelumnya sebagai pusat keramaian itu lenyap dalam hitungan beberapa menit.
Dan memorakporandakan berbagai bangunan dan penduduknya yang pagi itu tengah berlibur mengisi hari Minggu.
Selama lima belas hari, sejak Senin (10/1) hingga Selasa (25/1) yang dilakukan para sukarelawan yang tergabung dengan IOF itu melakukan berbagai tugas.
Ada tiga tugas pokok yang dilakukan IOF bekerjasama dengan TNI-AL itu.
Ketiganya, masing-masing melakukan survey dan memulihkan jalan yang telah rusak, mendistribusikan makanan, dan logistik lainnya serta obat-obatan.
Mengangkut para pengungsi baik yang
sakit maupun sehat dari Posko Satkorlak ke lokasi-lokasi pengungsian (bolak-balik).
Serta yang ketiga rehabilitasi sarana
dan prasarana, seperti perbaikan mobil
dan motor yang ditemukan di lokasi, membangun sarana penerangan dan lain-lain.
Selain melaksanakan ketiga tugas
pokok yang dilakukan bergiliran, para sukarelawan juga melakukan pekerjaan lainnya.
Mulai dari pencarian hingga evakuasi
jenazah yang selalu berkoordinasi
langsung dengan Palang Merah
Indonesia (PMI).
Setiap melakukan kegiatan di luar base
camp, tim selalu dikawal minimal seorang anggota Pasukan Marinir TNI-AL.
Kini, apakah kegundahan itu telah lunas
terbayar setelah selama dua pekan melakukan kerja langsung di lokasi bencana alam ?
Tentunya, hingga saat ini jawabnya
adalah masih belum tuntas. Apa pasal ? Karena masih banyak yang perlu dikerjakan untuk membangun kembali Aceh, terutama Calang Aceh Jaya itu.
Dan apa yang dikerjakan selama dua pekan, tentunya tidak ada apa-apanya.
Tidak seimbang dengan apa yang dirasakan masyarakat Aceh yang sangat-sangat menderita akibat bencana alam maha dahsyat itu.
Kendatipun demikian, yang paling penting semuanya itu harus diambil hikmahnya.
Artikel ini telah terbit pada Surat Kabar Pakuan Grup Pikiran Rakyat, Maret 2005 dengan judul : Menjadi Sukarelawan di Calang Aceh Jaya Bersama Off-Roader Menjawab Kegundahan Hati